Metode Evaluasi Cooperative Learning
Dalam
setiap kegiatan belajar mengajar tentu akan diadakan evaluasi hasil kegiatan
belajar mengajar. Berhasil tidaknya seorang guru dalam menyampaikan mata
pelajaran serta untuk mengukur kemampuan siswa dalam menyerap mata pelajaran
dapat diketahui melalui sebuah evalusi
Yang
dimaksud dengan evaluasi yaitu penilaian terhadap tingkat keberhasilan siswa
untuk mencapai tujuan yang telah diterapkan dalam program (Muhibbin Syah
2000 : 141). Adapun program yang dimaksudkan oleh peneliti di sini yaitu
meningkatkan minat belajar siswa terhadap mata pelajaran Sejarah Kebudayaan
Islam, serta meningkatkan kerjasama dan interaksi serta komunikasi antar siswa
dalam kelas.
Tujuan
diadakannya evaluasi menurut Muhibbin Syah (2000 : 141) yaitu untuk mengetahui
:
1)
Tingkat kemajuan yang telah dicapai siswa dalam
kelompok belajarnya
2)
Posisi siswa dalam kelompok belajarnya
3)
Tingkat usaha yang dilakukan siswa dalam belajar
4)
Sejauh mana siswa telah mendayagunakan kapasitas
kognitifnya untuk keperluan belajar
5)
Tingkat daya guna dan keberhasilan metode pembelajaran
yang digunakan oleh guru dalam proses belajar mengajar berlangsung
Adapun
fungsi dari evaluasi antara lain yaitu :
a)
Fungsi administratif
b)
Fungsi promosi
c)
Fungsi diagnostik, untuk mengidentifikasi kesulitasn
belajar siswa dan merencanakan program remedial teaching (pengajaran perbaikan)
d)
Sumber data bimbingan konseling (BK)
e)
Bahan pertimbangan pada masa yang akan datang, yang
meliputi pengembangan kerikulum, metode dan alat-alat belajar mengajar
Dalam
penerapan metode Cooperative Learning juga terdapat evaluasi untuk mengetahui
efektifitas kerja gotong royong yang diterapakan. Menurut Anita Lea (2002 : 84)
dalam pembelajaran metode Cooperative Learning terdapat tiga model evaluasi
yang dapat digunakan oleh guru sebagai acuan untuk mengukur keberhasilan proses
kegiatan belajar mengajar, yaitu :
1)
Model Evaluasi Kompetisi
Sistem
pringkat yang ada di sekolah selama ini jelas menanamkan jiwa kompetitif. Sejak
awala pendidikan formal, siswa dipacu agar bisa menjadi lebih baik dari
teman-teman sekelasnya. Siswa yang yang jauh melebihi teman sekelasnya, maka ia
dianggap sebagai siswa yang berprestasi. Sedangkan kemampuan yang ada di bawah
rata-rata dianggap gagal. Pada akhirnya system ini mengajarkan nilai-nilai Survivel
Of The Fit Test atau siapa yang kuat
dialah yang menang.
Karena
ketatnya system kompetisi, dunia pendidikan telah melahirkan manusia-manusia
yang siap untuk bertanding dengan lawannya demi kesuksesan pribadinya. Homo
homini lupus merupakan prinsip dasar dalam denia kompetisi. Orang-orang ini
sedikit sekali dibekali kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain. Padahal
dalam kehidupan bermasyarakat termasuk dalam dunia pekerjaan, kemampuan untuk bersinergi
merupakan kunci keberhasilan.
2)
Model Evaluasi Individual
Berbeda
dengan sistem penilaian pringkat, dalam pengukuran individual guru menetapkan
standart untuk setiap murid. Nilai seseorang tidak ditentukan oleh nilai
rata-rata teman sekelas, melainkan oleh usaha sendiri dan standart yang
diterapkan oleh guru dan dianggap merupakan kemampuan maksimalnya. Setiap orang
bertanggung jawab atas tindakannya sendiri dan harus memperjuangkan nasibnya
sendiri juga. Tidak ada orang yang bisa membantu dan sebaliknya tak perlu
merepotkan diri untuk membantu orang lain.
Tampaknya
system penialain individual lebih menarik dibanding dengan sistem kompetisi.
Dalam hal ini, anak didik bisa diharapakan belajar sesuai dengan kemampuan
mereka sendiri dan berbeda dengan stress yang mewarnai system kompetisi. Namun
jika sikap individual tertanam dalam jiwa anak didik kemungkinan besar mereka
akan mengalami kesulitan untuk hidup bermasyarakat.
3)
Model Eveluasi Cooprative Learning
Kerjasama
merupakan kebutuhan yang sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup. Tanpa
kerja sama tidak akan ada individu, keluarga, organisasi dan masyarakat. Dan
juga, tampa kerja sama keseimbangan lingkungan hidup akan terancam punah.
Dalam
penelitian Evalusi Cooperative Learning, siswa mendapat nilai pribadi dan nilai
kelompok. Siswa bekerja sama dengan cara gotong royong. Mereka salaing memantu
dalam mempersiapkan diri untuk test. Kemudian masing-masing mengerjakan tes
dengan sendiri-sendiri dan menerima nilai pribadi.
Nilai
kelompok dapat dibentuk dengan beberapa cara, yaitu : Pertama, nilai
kelompok dapat diambil dari nilai terandah yang didapat oleh siswa dalam
kelompok. Kedua, nilai kelompok bisa diambil dari nilai rata-rata semua
“sumbangan” dari setiap anggota. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga rasa
keadilan dalam kelompok serta menghilangkan rasa minder terhadap anggota yang
mendapat nilai kurang bagus atau dibawah jauh dibawah rata-rata.
Model
evaluasi ini sangat perlu diterapkan dalam dunia pendidikan. Karena system
pendidikan gotong royong ini merupakan alternatif manarik yang bisa mencegah
tumbuhnya keagresifan dalam system kompetisi dan rasa ketersaingan dalam system
individu tanpa mengorbankan aspek kognitif.