Syarat syarat Menafsirkan Al Qur'an dengan Baik dan benar
Untuk dapat menafsirkan Al-Qur’an dengan baik, para ulama telah menentukan beberapa syarat yang diperlukan, antara lain :
1. Mengetahui bahasa Arab dengan baik, baik ilmu nahwu, ilmu sharaf, maupun ilmu balaghah;
2. Mengetahui ilmu asbâb an-nuzûl (sebab-sebab turunnya ayat);
3. Mengetahui ilmu usul fiqh;
4. Mengetahui ilmu qira’ah;
5. Mengetahui ilmu tauhid;
6. Mengetahui ilmu nasikh dan mansukh; dan
7. Mengetahui hadits-hadits Nabi Muhammad saw. beserta ilmunya.
Lebih jauh lagi Fahd bin Abdirrahman ar-Rumi dalam bukunya, “Ulumul Qur’an : Studi Kompleksitas Al-Qur’an”, mengintrodusir beberapa syarat ahli tafsir sebagaimana dikemukakan para ulama, yaitu :
a. Akidahnya bersih
Orang yang akidahnya telah berubah akan meyakini rasio. Kemudian ia membawa lafal-lafal Al-Qur’an dengan rasionya. Apabila orang ini menafsirkan Al-Qur’an, ia menakwilkan ayat-ayat yang berbeda dengan fahamnya yang salah. Lalu ia selewengkan sampai sesuai dengan mazhab (faham)-nya.
b. Tidak mengikuti hawa nafsu
Hawa nafsu membawa pemiliknya kepada faham (subyektif)-nya, sekalipun salah dan menolak yang lain-sekalipun yang ditolak itu benar.
c. Mufassir mengerti Uhsûl at-Tafsîr (dasar/basis penafsiran)
Dasar-dasar penafsiran dibutuhkan sebagai kumpulan beragam kunci dalam ilmu tafsir. Maka seorang mufassir harus ‘alim dalam ilmu-ilmu qira’at, nasikh-mansukh, dan asbâb an-nuzûl, serta perangkat ilmu tafsir lainnya.
d. Pandai dalam ilmu Riwayah dan Dirayah Hadits
Hal ini penting mengingat bahwa hadits-hadits Rasul merupakan penjelasan Al-Qur’an. Imam Syati’i berkata : “Setiap keputusan rasulullah adalah hasil pemahamannya terhadap Al-Qur’an.” Imam Ahmad juga berkata : “As-Sunnah adalah tafsîr dan tabyîn (penjelas) bagi Al-Qur’an.”
e. Mufassir mengetahui dasar-dasar agama (Ushûluddîn)
Yang dimaksud dengan dasar-dasar agama adalah ilmu Tauhid, sehingga dalam menafsirkan ayat-ayat asma’ (nama) Allah dan sifat-sifat-Nya tidak akan terjadi penyerupaan, perumpamaan dan pengingkaran.
f. Mufassir mengerti Usul Fiqh
Karena dengan ilmu tersebut sang mufassir bisa mengetahui bagaimana menetapkan hukum berdasar ayat-ayat Al-Qur’an, bagaimana mengambil dalil dari Al-Qur’an, juga akan mengetahui ijmâl (keumuman) Al-Qur’an. Sehingga jelas mana penjelasan Al-Qur’an yang bersifat ‘âm (umum) dan khâs (khusus), mutlaq dan muqayyad, petunjuk dan ungkapan nash, petunjuk tentang al-amr (perintah) dan nahyu (larangan) dan lain-lain.
g. Mufassir menguasai bahasa (Arab) dan ilmunya
Dalam hal ini yang dimaksud dengan mengetahui bahasa adalah bahasa Arab. Sedangkan yang dimaksud tentang ilmu bahasa meliputi : ilmu nahwu, sharaf, balaghah (badi’, bayan, ma’ani) dan isytaq. Itulah yang perlu diperhatikan, sebab Al-Qur’an diturunkan dengan “lidah” Arab yang jelas
Dari uraian-uraian tentang pengertian dan syarat-syarat tafsir di atas, maka diketahui perbedaannya dengan terjemahan Al-Qur’an. Perbedaan yang paling prinsip dalam hal ini adalah bahwa pada terjemahan Al-Qur’an hanya dilakukan pemindahan kosa-kata dalam Al-Qur’an, dari bahasa Arab ke dalam bahasa lain (selain bahasa Arab), agar si pembaca dapat memahami arti ayat yang terkandung dalam Al-Qur’an. Sedangkan pada tafsir Al-Qur’an jauh lebih dalam prosesnya karena di dalamnya dijelaskan sejauh kemampuan manusia (mufassir) tentang maksud-maksud Allah dalam ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan petunjuk zahir ayat.
Oleh karenanya, seorang yang hendak menafsirkan Al-Qur’an memiliki syarat-syarat yang lebih berarti dibandingkan hanya sekedar hendak menterjemahkan Al-Qur’an. Bagi seorang mufassir tidak cukup hanya menguasai kaidah-kaidah bahasa Arab dan uslub-uslubnya, sebagaimana hal ini disyaratkan bagi seorang yang sekedar menerjemahkan Al-Qur’an, melainkan mencakup syarat-syarat lain yang berkenaan dengan ilmu ushul fiqh, hadits, dan lain-lain.
Semoga berkah Syarat syarat Menafsirkan Al Qur'an dengan Baik dan benar